Suaratebo.net, Tebo - Bukanlah suatu pekerjaan mudah untuk membuat rumusan hukum yang diterima oleh semua ahli hukum. Hukum, aspeknya sangat luas (sedemikian kompleks, baik dalam ruang lingkup maupun waktu). Kiranya apa yang dikemukakan oleh Imanuel Kant beberapa ratus tahun yang lalu, masih relevan untuk saat ini.
Imanuel Kant mengemukakan noch suchen die juristien eine definition zu ihrem begriffte vom recht. Oleh van Apeldoorn dijelaskan bahwa tidak mungkin memberikan definisi tentang hukum yang sungguh-sungguh dapat memadai kenyataan. Karena itu hanya memberikan suatu definisi yang umum sebagai pegangan).
Telah lama masalah keadilan menjadi pusat perhatian para filsuf Yunani. Pemikiran ini dilatarbelakangi adanya kekacauan sosial, konflik intern, seringnya terjadi pergantian pemerintahan, banyaknya kezaliman dankesewenang-wenangan. Humerus mengemukakan bahwa keadilan masih identik dengan perintah dan kewenganan.
Disadari adanya pertentangan antara hukum positif dan keadilan yang didasarkan kepada adanya rasa tidak aman dalam masyarakat, rasa tidak puas terhadap sistem pemerintahan aristokrasi dan banyaknya penyalahgunaan kewenangan, para filsuf Yunani berusaha mencari hakekat keadilan. Seperti Plato yang mendasari konsep keadilan dari ilham (in- spiration), dan Aristoteles yang mengembangkannya berdasarkan kajian ilmiah atas dasar prinsip-prinsip rasional dan berlatar belakang model-model politik dan undang-undang yang telah ada. Walaupun keduanya sependapat bahwa keadilan merupakan aspek yang mutlak dari kebajikan.
Karya Plato mengenai keadilan termuat dalam Republic dan The Laws. Keadilan menurut Plato adalah kebijakan dalam arti keselarasan dan keseimbangan batin.
Aristoteles dalam Retorica mengemukakan bahwa keadilan itu adalah cita-cita semua orang dan harus dipertahankan dalam semua bidang kehidupan. Kemudian oleh Ulpianus, seorang ahli hukum Romawi menegaskan dalam Digesta Institutiones dael I sebagai berikut: Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi, keadilan adalah suatu keseimbangan yang berisi berilah kepada seseorang apa yang menjadi bagian/haknya, suum cuique tribuere, memberikan apa yang menjadi bagian/hak seseorang.
Ternyata bahwa apa yang dikemukakan oleh Ulpianus di atas, merupakan pengembangan dari teori keadilan Aristoteles yang membagi keadilan atas:
Justitia Commutative
Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagiannya atas dasar persamaan.
Justitia Distributiva : Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagiannya atas dasar perbedaan, dimana diperhi- tungkan perbedaan kualitasnya. Terjadi ketidak adilan apabila yang sama diberlakukantidak sama, dan yang tidak sama diberlakukan sama. Demikian yang dialami Yesus, pada saatdisalibkan di kayu salib di Golgota berdasarkan putusan Pontius Pilatus.
Justitia Vindicativa : Keadilan yang memberikan kepada masing-mas- ing bagiannya atas dasar keseimbangan (proporsi) masing-masing, misalnya hukuman seimbang dengan kejahatan.
Justitia Creativa : Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagian kebebasan untuk menciptakan sesuatu atas kreativitasnya di bidang ilmu dan kebudayaan.
Justitia Prativa :Keadilan yang memberikan pengayoman kepada manusia. Pertimbangan didasarkan kepada bahwa semuakekuasaanmanusia terhadap manusia harus dibatasi, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan yang membatasi hak dan kewajiban dasar manu- sia.
Justitia Legalis : Kebajikan yang menyeluruh dalam hubungannya dengan kepentingan umum dalam masyarakat. Agar penguasa setia kepada janji dan bertindak menurut itikad baik
Dun Scotus mengemukakan bahwa hanya pada Tu- han ada keadilan, karena diatas Tuhan tidak ada hukum.
Sementara Kelsen mengemukakan bahwa terdapat dua tipe dasar perihal keadilan, yaitutipe rasionalistis dan tipe metafisis. Tokoh rasionalistis adalah Aristo- teles yang berusaha mencari hakekat keadilan melalui kajian ilmiah secara logis. Sedangkan tipe metafisis yang dipelopori Plato, percaya bahwa keadilan itu ada akan tetapi sebagai kualitas yang fungsinya tidak dapat diamai oleh manusia. Keadilan terdapat dalam dunia lain, di luar pengalaman manusia, dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah.
Plato mendasarkan keadilan pada pengetahuan yang baik yang ada di luar dunia luar yang hanya diperoleh dengan kebijaksanaan. Di lain pihak, Fried- man mengemukakan bahwa dasar teologis memberikan dasar yang paling sederhana dan sejati untuk cita-cita keadilan. Dan St. Agustinus mengakui bahwa keadilan hanyalah merupakan tertib yang memberikan bagian kepada setiap pihak secara proporsional.
Teori keadilan dari Del Vechio diawali dengan rumusan kualitas ganda dari manusia. Manusia sekaligus fisik dan metafisik, keduanya merupakan prinsip alam. Sebagai bagian dari alam, ia tidak dapat membedakan antara baik dan buruk, tetapi sebagai makhluk yang berakal ia mempunyai kemungkinan memutuskandengan bebas terhadap apa dalam dirinya sendiri. Sebagai makhluk yang berakal yang melebihi dan memahami alam, manusia mempunyai dalam dirinya benih keadilan yang abadi. Benih keadilan adalah suatu ita dan perasaan. Oleh karenanya, esensi keadilan adalah subjektivitas dalam dirinya (alterita), yaitu pemikiran serempak tentang beberapa masalah pokok pada tingkatan yang sama, dari ini timbul unsure persamaan dan timbal balik. (IST)
Penulis : Kasat Narkoba Polres Tebo, IPTU Irvan Pane